Terik. Tiga puluh menit. Terbakar.
Lelaki itu mengusap peluh. Gelisah. Matanya menyipit menatap pintu itu dengan penuh harap. Ia mendengus tak sabar. Ditahan-tahannya diri untuk tidak melihat jam di pergelangan tangannya. Ia sudah melihatnya 1 menit yang lalu. Masih sama. Masih di angka 12, itu berarti belum cukup alasan untuknya merogoh saku, mengambil handphone dan mengeluh panjang pendek pada yang ia tunggu. Dia tahu terik yang ia rasakan adalah kesalahannya sendiri, ia yang memilih tempat dan waktunya.
Mendadak matanya sedikit berbinar tapi redup lagi ketika pintu biru itu terayun terbuka dan seorang perempuan keluar.. Yang baru saja keluar dari balik pintu itu, bukan yang ia tunggu-tunggu. Ibunya.
Ia melihat kesekelilingnya, sebentar lagi, sebentar lagi, bisik lirihnya sambil mengayun badan ke depan dan ke belakang. Tidak lagi berdiri, Ia memutuskan untuk duduk di bawah pohon, di dekat ayunan. Resahnya menjadi-jadi. Berkali-kali dia menatap bergantian pintu dan jam tangannya. Sudah jam 1 siang. Ibu seharusnya sudah keluar sekarang.
Bunyi bel sekolah melengking tinggi, dia gusar menutup telinganya. Dia tidak menyukai suara keras. Matanya tak berkedip, pintu biru itu tiba-tiba terhentak, dari sana berhamburan anak-anak sekolah. Saling dorong, teriak, gelak tawa, riuh. Ia memincingkan mata, menahan nafas kemudian lirih berhitung.
Ibu bilang ia harus berhitung pelan-pelan sampai angka tiga puluh agar dia tidak sesak nafas. Karena setiap dia merasa cemas, dia akan menahan nafas, setelah itu ia akan sesak nafas, ia tidak suka. Karena itu Ibunya selalu menyuruh, setiap kali ia gelisah, dia harus berhitung sampai tiga puluh agar dia tidak lupa bernafas dan jadi sakit dadanya.
Riuh lautan anak-anak sudah mereda, perlahan dia bangkit berdiri, hitungannya hampir selesai. Tapi Ibu belum keluar juga, ia belum melihatnya hari ini, kemarin juga tidak. Tidak seminggu ini. Bibi bilang Ibunya tidak akan pulang karena sudah meninggal. Ia tidak percaya, Ibunya belum tua. Orang harus tua dulu baru bisa meninggal. Itu yang Ibu bilang.
Sudah jam 1 lebih, Ibunya belum keluar juga. Paniknya berubah menjadi frustasi. .
Ia ingin sekali berlari menyeberangi lapangan itu dan masuk ke dalam mencari ibunya, tapi takut. Ia mau ibunya ada disini, menenangkannya.
Perut bawahnya mulai geli.. …Airmata mengalir deras dari pelupuknya, ia menyesal telah mengotori celananya sendiri. "Anak laki-laki berumur 16 tahun tidak boleh ngompol. Tidak pantas" Bibirnya bergetar mengulangi kalimat bibinya.
Like anyone would be
I am flattered by your fascination with me
Like any hot-blooded woman
I have simply wanted an object to crave
But you, you're not allowed
You're uninvited
An unfortunate slight
Must be strangely exciting
To watch the stoic squirm
Must be somewhat heartening
To watch shepherd need shepherd
But you you're not allowed
You're uninvited
An unfortunate slight
Like any uncharted territory
I must seem greatly intriguing
You speak of my love like
You have experienced love like mine before
But this is not allowed
You're uninvited
An unfortunate slight
I don't think you unworthy
I need a moment to deliberate
I am flattered by your fascination with me
Like any hot-blooded woman
I have simply wanted an object to crave
But you, you're not allowed
You're uninvited
An unfortunate slight
Must be strangely exciting
To watch the stoic squirm
Must be somewhat heartening
To watch shepherd need shepherd
But you you're not allowed
You're uninvited
An unfortunate slight
Like any uncharted territory
I must seem greatly intriguing
You speak of my love like
You have experienced love like mine before
But this is not allowed
You're uninvited
An unfortunate slight
I don't think you unworthy
I need a moment to deliberate
(uninvited – alanis morissette)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar