Senin, 08 Agustus 2011

Dia.

Aku menemukannya berdiri di pojok pintu belakang, suatu senja saat aku tergesa menutup semua pintu dan jendela.
Menatapku jenaka dengan mata bulat membesar memeluk boneka.
'Astaga!' Pekikku tertahan.
Sumpah aku kaget.
Seharusnya aku sendirian di rumah kontrakan ini. Wijaya, temanku berbagi kontrakan sedang pergi ke luar kota.

Wijaya terbiasa membuka pintu dan jendela, supaya tidak pengap katanya. Seperti senja ini. Aku mendapati rumah dengan jendela dan pintu terbuka lebar.
Aku cuma sempat berpapasan sebentar dengan Wijaya, dia cuma menungguku pulang dan segera berangkat. 'Sudah ditunggu ojek dari tadi', ujarnya saat aku mengucap salam memasuki rumah. Mukanya antara lega, kesal dan kasihan harus meninggalkanku sendirian di rumah.

Sekarang aku berdiri di ambang rumah, korden-korden gemulai tertiup angin sore.

Aku tidak suka.

Aku lebih suka semuanya tertutup. Aku nyaman dengan situasi yang aku bisa kontrol, aku tidak mau memendam takut jika ada orang atau binatang yang masuk saat aku terlelap.

Dan sekarang.
'Kejadian kan? Sialan kau, Jaya' rutukku.

Di pintu terakhir yang harusnya kututup, kutemukan mahluk eh bocah perempuan ini.

Pelan-pelan kudekati mahluk so Dora alike ini. Poninya bergoyang-goyang pelan.

'Kamu siapa?'
Dia diam, masih dengan sungging senyum dan bola mata jernih membesar.

'Sudah sore, kamu pulang ya? Nanti dicari Mama kamu'

dijawab desau angin.
Dia menatapku tajam, langsung menghujam.

Anjing!kenapa aku jadi takut. Tenang La. Its just a kid. A little kid.

Aku merengkuhnya. Sedikit menarik lengannya. Dingin.

Damn. Ini manusia bukan sih? Rasa takut mulai meraja. Sia-sia mengendalikannya. Berusaha menyusun plot bagaimana ini bocah bisa berada di dapur saja aku ga sanggup.

Ok. Breath. Bisa jadi, anak ini bermain petak umpet dengan teman-temannya. Lalu, dia mendapati pintu belakang rumah terbuka, jadi dia memutuskan untuk bersembunyi disitu.
Sambil menggandeng anak ini berjalan keluar, otakku menyusun skenario tapi sialnya otakku juga bermain logika, mengeluarkan pertanyaan kenapa.

'Kenapa dia diam saja, tak bersuara sedikitpun? Bahkan saat aku mencengkram bahunya seperti ini'

Pintu belakang seperti berjarak ribuan cahaya.

Aku ingin sekali meninggalkan anak ini dan berlari ke kamar. Biar saja dia diam disitu. Apa peduliku.
Jika ada orang yang mencari, aku tinggal memberitahunya.

Tapi bukan begitu caranya. Moralku menang.

Aku tidak berani menatap ke bawah. Dia berjalan sambil memperhatikanku. Tak henti. Tanpa jeda. Aku sesekali melirik dari ekor mata. Sial. Tidak adakah yang mengajarinya kalau tidak sopan menatap orang terus menerus, kalau berjalan lihatlah ke depan, supaya tidak jatuh terantuk batu.

Fiuh, pintu belakang. Bergegas aku menghentakan pintu. Mendorong pundak si Dora untuk berjalan di depan. Dia memang berjalan, tapi terus mengunci pandangan ke mataku.

Aku mengangkat alis tinggi-tinggi. Memasang muka galak. Aku tahu aku gagal. Muka takut yang terbaca. Aku terintimidasi anak setinggi separuh paha.

Dia berhenti tepat di depan pintu.

Senja sudah habis dimakan malam.
Semesta menghitam.

Ibu-ibu tetangga menatapku penuh selidik. Si ibu juga sedang menggendong anaknya seumuran di creepy.


Aku tersenyum lemah,bertanya, berlutut disamping anak ini.

'Ibu, tahu ini anak siapa? Tau-tau ada di dalam rumah. Saya khawatir orangtuanya mencari. Saya tanya tidak menjawab'

Ibu itu menggeleng perlahan. Mengeluarkan gumaman.

Aku tidak bisa mendengarnya. For god sake. Kemana suara orang-orang ini.

'apa Bu? Saya tidak dengar'

'Bawa ke pak RT saja', ujarnya perlahan.

Aku menghela nafas kesal. Tidak bisakah aku meninggalkannya di pintu?

Aku tau rumah pak RT, tak jauh dari sini.

Aku tidak suka harus berjalan menembus malam untuk tanggung jawab yang tak pernah kuminta.

Saat aku mau berdiri, aku baru sadar, bocah ini berdiri dekat sekali di sisi kananku.

Tiba-tiba dia mengalungkan tangannya ke leherku.

Aku terkesiap. Telat bereaksi.
Tangannya ketat memeluk leher.

Detik berikutnya yang ku tau.
Rasa sakit di dada kanan. Dia menghisap putingku paksa.
Atau memakannya. Entah.
Aku berteriak sejadinya. Mencakar udara bahkan juga mukanya.

Mukanya menghitam. Pandangannya setan.

Semua gelap.
Sent from Maroon
Powered by The Nerves

Tidak ada komentar: